Kamis, 29 Maret 2018

Adrianus Meliala, Profesor Kriminologi UI

Nama Adrianus Meliala identik dengan persoalan kejahatan. Kriminolog
dari Universitas Indonesia itu acap kali dimintai komentarnya oleh pers
tentang berbagai masalah terkait dengan masalah kejahatan, mulai dari
kejahatan jalanan hingga kejahatan yang dilakukan negara.

Pergaulannya sebagai salah satu pengajar pada Program Pascasarjana
Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia (UI) membuatnya makin
menggeluti studi kepolisian. Ketajamannya menganalisis institusi
kepolisian bahkan acap kali membuat kuping merah.

Dia pernah menjadi dosen favorit Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK)
selama lima tahun berturut-turut. "Menjadi pengajar polisi-polisi muda
di PTIK sungguh membawa kenikmatan tersendiri," ungkap Adrianus.


Selama enam tahun (2000-2006), ia menjadi salah satu penasihat ahli
Kepala Kepolisian Negara RI (Polri) di bidang kriminologi sejak Jenderal
(Pol) S Bimantoro, Jenderal (Pol) Da'i Bachtiar, dan Jenderal (Pol)
Sutanto. Tidak heran jika banyak polisi mengenalnya, mulai dari jenderal
sampai bintara.

Adrianus juga pernah menjadi anggota Tim Pakar Jaksa Agung untuk
Penyidikan Pelanggaran HAM Berat (2000), anggota Tim Ahli Badan Pekerja
MPR untuk Penyiapan Ketetapan MPR tentang Rekomendasi Pemberantasan KKN
(2001), konsultan Komnas HAM untuk Penyidikan Dugaan Pelanggaran HAM
Berat (2004), serta Penasihat Senior pada Kemitraan untuk Pembaruan Tata
Pemerintahan di Indonesia (2001-2006).

Berbagai pengalaman itu membuat Adrianus makin matang sebagai akademisi
sekaligus praktisi. Dia menekuni bidang yang memang jarang ditekuni
kebanyakan orang. Dia telah menulis 12 buku, 4 jurnal internasional,
serta ratusan jurnal nasional dan artikel di berbagai media massa.

Kerja keras

Rabu (15/11) lalu, putra Batak Karo yang lahir di Sungailiat, Bangka,
pada 28 September 1966, ini dikukuhkan sebagai guru besar di bidang
kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Dalam
pidato pengukuhannya, Adrianus membuat kajian "Kejahatan Negara:
Beberapa Pelajaran dari Indonesia".

Ketika masih menjadi mahasiswa FISIP UI (1985-1990), dia mengambil dua
kegiatan ekstrakurikuler, yaitu paduan suara dan di surat kabar Warta
UI. Pengalaman dalam media kampus membuat ia tertarik magang di majalah
berita Editor selama 2,5 tahun.

Adrianus yang pernah mendapat beasiswa dari Kompas, British Chevening
Award, dan USAID itu kemudian mendalami psikologi sosial di Fakultas
Psikologi UI (1991-1994), mendalami Legal and Criminological Psychology
di The Manchester Metropolitan University, Inggris (1994-1995), dan
meraih gelar PhD di bidang kriminologi dari University of Queensland,
Brisbane, Australia (1998-2004).

Pergaulannya di Fakultas Psikologi UI membuatnya betah. Cara berpikir
dan minatnya banyak berubah selama menjadi bagian dari komunitas ini.
Juga ketika menjadi salah satu pengajar di Program Pascasarjana Kajian
Ilmu Kepolisian UI, Adrianus makin menggeluti studi kepolisian. "Saya
sekarang makin cinta polisi," ujarnya.

Sebagai orang yang berasal dari etnis Batak Karo, Adrianus mendapat
dukungan dari keluarga besarnya. Tak ada masa sedih dan masa senang
dilewatkan sendiri. Dia ingat masa kecilnya, ketika sang ibu menenteng
dagangan yang berat, berjualan ke sana kemari tanpa kenal lelah, mencari
uang siang malam dengan tujuan agar anak-anaknya dapat menikmati
pendidikan.

Mengingat tetes keringat dan air mata orangtuanya, Adrianus dan dua
saudaranya dipacu melanjutkan pendidikan setinggi- tingginya. "Mamalah
yang paling pantas menerima kemegahan dan penghormatan ini," ungkapnya.

Ayah dari empat anak (satu di antaranya meninggal) dan suami dari Rosari
br Ginting ini menyebut istrinya sebagai teman hidup di kala susah dan
senang, sekaligus penyeimbang hidupnya. Berbagi dengan sang istri
membuat hidup Adrianus selalu ringan dan tak ada masalah yang dianggap
benar-benar berat.

Kepada tiga anaknya, Pascalis, Cecilia, dan Brigitta, ia berpesan agar
mereka bekerja keras. "Hanya dengan ilmu, dan bukan dengan memo,
jabatan, atau kekayaan, kalian bisa tenang menapak hari esok," ujarnya.

Dalam uraiannya tentang kejahatan negara, Adrianus berpendapat negara
yang gagal adalah negara yang alih-alih memberikan kemaslahatan kepada
warga negaranya, tetapi malah membawa problema. Negara yang tidak mampu
menjalankan fungsi utamanya, memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,
dan malah menghadirkan berbagai persoalan, dapat diwacanakan sebagai
kejahatan negara.

"Situasi ini membawa sebagian dari kita bertanya, apa gunanya negara dan
mengapa negara perlu ada? Bahkan berkembang pada keinginan membentuk
negara lain. Dari suatu dugaan terdapat kejahatan negara, dapat
berkembang menjadi gugatan kepada negara," paparnya.

Terkait dengan situasi ini, wacana pengembangan masyarakat sipil menjadi
relevan dalam menghadapi kemungkinan kejahatan dan penyimpangan oleh
negara. Menyadari posisi negara yang rentan, maka konsolidasi
antarelemen masyarakat sipil harus dilakukan agar tidak mudah
terombang-ambing mengingat negara tidak melakukan tugasnya dan agar
tidak mudah dibohongi negara. [R Adhi Kusumaputra/kompas ]

posted by sutono/kanomedia/bergerakcom


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Situs Resmi Jurusan Ilmu Administrasi FISIP UI

Tahun 2008, Kanomedia dipercaya membuat situs resmi departemen Ilmu Administrasi FISIP UI (Sekarang sudah menjadi Fakultas Ilmu Administ...